Kamis, 04 Mei 2017

Rekomendasi Untuk Anda × +

Ketika Wanita Ingin Memilih Jodoh Sendiri Bahkan Berniat Menawarkan Diri


 Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Nabi saw : “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya, sedangkan seorang gadis harus seizinnya, yang dibuktikan dengan diam sebagai tanda setuju dengan tidak ada penolakan” (Hadits sahih diriwayatkan oleh beberapa ulama hadits) 
Hadits ini menjelaskan betapa wanita juga mempunyai hak untuk memilih jodohnya sendiri. Imam Nawawi memberi komentar bahwa seorang wanita tidak boleh dipaksa oleh walinya untuk menikah dengan seseorang, karena merekalah yang paling merasakan hidup perkawinan dengan orang tersebut. Pernah datang seorang wanita mengadu kepada Nabi karena orangtuanya memaksanya kawin kepada seseorang yang tidak dicintainya. Rasul memberi kebebasan kepadanya untuk meneruskan pernikahannya atau membatalkannya.
Dalam budaya Islam, biasanya yang melamar secara resmi untuk membuktikan keseriusan menuju pernikahan adalah calon mempelai pria. Jika yang dipinang seorang gadis, pinangan itu dilakukan lewat ayahnya. Kalau tidak ada, lewat walinya yang paling dekat.
Sementara, jika yang dipinang itu seorang janda, pinangan bisa langsung dan terang-terangan dengan yang bersangkutan. Begitu pula yang ditinggalkan wafat oleh suaminya atau yang dicerai talak tiga atau talak khulu’ yang difasah oleh wali hakim. 
Mencari dan mencarikan jodoh
Peristiwa pemilihan calon jodoh ini sekalipun biasanya disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu oleh anak gadis dan pemudanya, namun pada umumnya di seluruh dunia ditentukan oleh pihak yang dominan. Di Indonesia sendiri, di tengah kekentalan budaya dan adat istiadat puluhan tahun silam yang masih dipegang erat, biasanya pilihan calon suami atau istri dilakukan oleh orangtua dari kedua belah pihak. Kedua calon suami istri sama sekali tidak diberi wewenang untuk melakukan pilihan sendiri.
Namun, lambat laun, kebiasaan ini mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Anak muda mulai mendapat kebebasan memilih partnernya. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh faktor orangtua yang yang semakin banyak disibukkan oleh berbagai macam urusan kerja dan kesulitan hidup sehari-hari. Ditambah lagi bahwa masalah perkawinan dan memilih jodoh itu bukan hanya pertanggungjawaban orangtua saja, akan tetapi harus dipikul dan dipertanggungjawabkan juga oleh anak-anak muda. Lebih-lebih oleh pengaruh edukasi, demokratisasi dan jalur informasi yang sangat terbuka sekarang ini ( Psikologi Wanita, Dr. Kartini, hal.200 )
Melihat sejarah masyarakat Islam pada masa Rasulullah, dalam masyarakat yang sudah terbina dengan baik para orangtua, pada khususnya, sangat mempertimbangkan kebagusan agama calon suami putri-putri mereka. Bahkan demi kebaikan putrinya sendiri, Umar bin Khattab mempromosikan putrinya Hafsah kepada kawan-kawan seperjuangan yang tak diragukan lagi keimanannya seperti, Abu Bakar as dan Usman as. Tetapi sejauh itu tidak ada respon positif dari mereka.
Karena usahanya mencarikan jodoh yang baik untuk putrinya tak membuahkan hasil, Umar mengadu pada Rasulullah saw. Kemudian sesungguhnya memang takdir Allah lah yang terjadi, ternyata justru Rasulullah yang merespon “tawaran” itu. Maka Hafsah pun menjadi salah satu Ummahatul Mu’minin. 
Ke depan sejarah menugkin akan berulang seperti kehidupan para sahabat. Saat ini anak-anak kader juga sudah mulai dewasa. Maka konsolidasi yang intens juga akan menjadikan perkawinan ke depan sangat mudah. Dengan kepercayaan dan ukhuwah yang tinggi, tidak mustahil promosi para orangtua sebagaimana yang dilakukan Umar agar putrinya dinikahi sahabat yang lain, akan berulang. Tapi tentu saja itu dilakukan dengan tetap menjaga akhlak-akhlak Islam, unsur kepatutan dan memperhatikan akhlak malu yang sangat dijunjung tinggi.
Tak tabu “menawarkan diri”
Pertimbangan mencari jodoh yang baik agamanya, memang seharusnya menjadi acuan utama, sebagaimana yang dilakukan Umar. Bahkan ketika seorang wanita mencari jodoh untuk dirinya sendiri, acuan ini hendaklah tetap dipegang. Kekayaan dan kerupawanan wajah, bisa jadi merupakan hal penting, namun bukan yang terpenting.
Salah seorang istri Rasulullah, Zainab binti Khuzaimah, yang dikenal sebagai “Ibu Orang-orang Miskin” dan dinikahi Rasul di umur 60-an,  mengatakan “Saya tidak menikah seperti keinginan pasangan-pasangan muda. Saya hanya ingin disatukan dengan Rasulullah nanti di surga.” Demikianlah, betapa pernikahan dalam Islam  punya visi yang agung untuk tujuan yang besar, yaitu kebahagiaan kekal di alam yang kekal.
Karenanya, tak bisa langsung disalahkan bila di zaman Nabi ada seorang wanita yang menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah saw, karena kemuliaan dirinya. “…Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min…” ( QS 33: 50 )
Tudingan ‘tak tahu malu’ pada perempuan semacam itu agaknya sangat tak tepat. Apa salahnya seorang shahabiyat yang dengan rendah hati mempromosikan dirinya untuk dinikahi Rasul? Tak ada keraguan bahwa Rasulullah adalah sosok ideal yang bisa membimbing dan menyelamatkannya di dunia akhirat. Siapapun dapat melihat dengan jelas betapa keuniversalan Islam terpatri dalam sosok Nabi yang penuh dengan wibawa dan tetap santun kepada semua orang.
Untuk hal semacam ini, yaitu manakala seorang wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi oleh orang pria shaleh, sesungguhnya tiada cela sama sekali. Tapi memang harus diakui, bagi masyarakat kita prilaku semacam ini mungkin masih dianggap tak layak dan dianggap merendahkan martabat wanita itu sendiri.
Namun, sebenarnya apa salahnya seorang wanita mengungkapkan keinginannya untuk dinikahi bukan hanya karena kebutuhan seksual semata, tetapi jauh lebih tinggi dan lebih mulia, yaitu adanya hasrat berdampingan hidup bahagia bersama dengan pribadi shaleh yang baik agama dan akhlaknya. Dengan suami macam itu, wanita shalihat manapun tentu berharap dapat menjalani hidup bahagia sepanjang hayat, bahkan sampai hidup sesudahnya.
Di tengah kehidupan modern yang sarat kemaksiatan, sosok pemimpin keluarga yang shaleh begitu diperlukan. Maka mendapat suami yang shaleh, yang kelak menjadi ayah yang penuh cinta dan kasih sayang, tentu jadi keinginan setiap wanita muslimah. Kalau hanya dengan ‘cara itu’, ia bisa mendapatkan suami shaleh, agaknya tak ada salahnya untuk dilakukan. Tapi akhlak Islami yang menjunjung rasa malu, kehalusan pekerti dan kemampuan menenggang rasa harus tetap dipegang teguh demi ketinggian martabat wanita itu sendiri. Wallahu a’lam bishawab.
Foto ilustrasi: google
Sumber: Ummi-Online

Semoga konten kami bermanfaat
EmoticonEmoticon