“Engkau berharap kesuksesan sementara tidak berjalan pada jalannya. Sesunguhnya perahu tidaklah berlayar di daratan.”
(Tafsir Ruhul Ma’aniy, Al-Alusy, 4/ 395 ),
Perkataan di atas adalah perkataan yang sangat relevan dengan kondisi kehidupan manusia.
Banyak orang bercita-cita hidup bahagia, sementara mereka melakukan berbagai macam kesyirikan! Seperti memenuhi syarat syirik yang dipersyaratkan oleh paranormal yang mereka percayai, entah dengan dalih rezeki melimpah, ketemu jodoh, lulus ujian dan lain-lain. Benarkah mereka bahagia dengannya? Sekali-kali tidak! Pastilah itu merupakan kebahagiaan yang semu! Karena mustahil orang yang berbuat syirik, menyekutukan Allah dan tak percaya pada Kemahakuasaan-Nya dalam mengatur rizki, pernikahan dan berbagi kesuksesan lainnya, mampu menemukan serta merasakan oase kebahagiaan sejati sebagaimana yang dirasakan oleh ahli tauhid.
Orang yang tak meyakini Kemahakuasaan-Nya akan berprasangka buruk kepada Allah ketika ia mendapatkan banyak musibah dalam hidupnya. Itulah pola pikir negatif yang membuat seseorang menuntut kehidupan yang berlebihan.
Ungkapan-ungkapan buruk lainnya seperti, “Nanti setelah aku bahagia, aku akan sholat dan beribadah dengan baik!” Bukankah dengan menyembah Allah Ta’ala, menjauhi kesyirikan serta beribadah dengan benar, pasti hidupnya akan bahaga lahir batin dunia akhirat??
“Aku harus kaya dulu baru bersedekah dan menunaikan ibadah haji!”, padahal dengan bersedekah dan berhaji rezeki takkan seret, justru diberkahi!
Begitulah ketika orang terlalu bermain logika dan dibalut nafsu, ia cenderung berpikir dan berbuat keburukan. Para ahli maksiat, seperti orang yang gemar meneguk miras, bergelut dalam dunia prostitusi, suka menikmati hingar bingarnya musik, bahagiakah hati mereka dengannya?? Ya..kebahagiaan semu yang sesaat!
Mungkinkah orang yang melanggar Syariat Islam dan berbuat dosa mampu mengecap kebahagiaan yang sebenarnya tatkala ia melakukannya? Kebahagiaan yang abadi hanyalah diraih dengan iman dan amal shalih!
Penduduk Swedia yang hidup dalam tingkat ekonomi tinggi, nyaris laksana mimpi, negeri aman, kaya dan semua tercukupi, benar-benar makmur secara ekonomi. Namun orang-orang di sana hidup dalam kegelisaan, galau dan secara psikologis tak bahagia. Apa rahasia besar dibalik fenomena menyakitkan itu? Tidak adanya keimanan, itulah jawabannya!
Ketika hati kosong dari keimanan kepada Allah Ta’ala manusia pasti tak pernah bahagia. Karena kebahagiaan itu hanya terwujud ketika orang berjalan di atas jalan Allah.
Itulah Al-Qur’an dan As-sunnah yang menyebabkan bangkitnya ruh kebahagiaan abadi sebagaimana yang pernah dirasakan para nabi dan rasul ‘alaihimush shalatu was salam serta orang-orang yang konsisiten di atas jalan kebenaran.
Ada kisah inspiratif yang mengandung mutiara hikmah, betapa kebahagiaan itu sangat berharga!
Suatu ketika terjadi pertengkaran dalam rumah tangga, kemudian sang suami mengancam istri, “Aku akan menyengsarakanmu!”, namun sang istri menjawab dengan tenang, “Kamu tidak bisa menyengsarakanku, sebagaimana kamu juga tidak bisa membahagiakanku”.
Sang suami bertanya dengan penuh kemarahan, “Bagaimana mungkin aku tidak bisa?”, sang istri menjawab dengan penuh percaya diri, “Jika kebahagiaan itu terletak pada gaji yang kamu berikan kepadaku, niscaya kamu bisa memutusnya dariku, atau bila kebahagiaan itu terletak pada perhiasan berupa intan, permata, dan emas, maka kamu bisa mencabutnya dariku. Akan tetapi, kebahagiaan itu tidaklah kamu kuasai, dan tidak pula dikuasai oleh semua orang!” Lalu sang istri melanjutkan, “Aku menemukan kebahagiaan dalam keimananku yang terletak di dalam hati. Hatiku tidak ada yang memilikinya, kecuali Rabbku!”
Ya…kebahagiaan itu tak bisa direbut oleh orang lain, dia sebuah anugerah dari Allah Ta’ala yang khusus teruntuk hamba-hamba-Nya yang shalih.
Renungilah betapa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah dicaci maki, diembargo ekonomi, bahkan terancam jiwanya, namun beliau tetap bahagia tak mengeluh sedikitpun. Atau Asiah istri Fir’aun yang disiksa lantaran menyembah Allah Ta’ala, justru hatinya bahagia karena iman! Fisik boleh sengsara tapi iman tetaplah berkobar-kobar dan berbaik sangka kepada Allah karena begitu menghujam kekuatan iman dan semua yang dialaminya akan berbuah kebahagiaan yang tanpa batas.
Al-Makmun pernah bertanya kepada orang yang paling bahagia di negerinya, lelaki itu tinggal di sebuah gubuk disamping istana Kholifah, “Apa sebenarnya arti kebahagiaan? orang itu menjawab, “Wahai Kholifah, kebahagiaan itu terletak pada tiga kalimat: menjalankan perintah Allah, puas dengan rezeki yang dibagikan oleh Allah, dan ridha terhadap takdir-Nya (dicuplik dari Mukhtar Islami.com).
Hanya dengan Islam dan menjalani ritme hidup di bawah petunjuk Allah Ta’ala, kita pasti bahagia!
*****
Referensi : One Heart, Zainal Abidin bin Syamsudin, Pustaka Imam Bonjol, Jakarta Sesuatu Yang Kamu Tanam Akan Kamu Panen, Mahmud Al-Mushri, Najah, Yogyakarta Tips-Tips Dahsyat Kelola Stres dan Emosi, Efrita Novia Araska, Yogyakarta.
Sumber: https://muslimah.or.id/9447-kebahagiaan-awal-sebuah-kisah.html
Semoga konten kami bermanfaat
EmoticonEmoticon